A. Latar Belakang
Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan
menyatu didalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah tercampur
sikap dan tingkah laku perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, kasih
sayang, atau malah sebaliknya, pemarah, benci karena dendam, iri dan
dengki, sehingga memutuskan hubungan silaturahmi.
Akhlak ada dua macam yaitu akhlakul
karimah dan akhlakul majmumah. Dalam kesempatan kali ini kami akan
membahas tentang Akhlakul Karimah (akhlak terpuji) yaitu keutamaan
perilaku jujur dan bersikap terhadap tamu dan tetangga berdasarkan
reportase hadits.
B. Rumusan Masalah
- Apa Pengertian Akhlakul Karimah?
- Bagaimana Keutamaan dari Perilaku Jujur?
- Bagaimana Cara Bersikap Terhadap Tamu dan Tetangga?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlakul Karimah
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi
akhlak mulia. Bahkan, tujuan utama diutuskan Nabi Muhammad SAW. Sebagai
Nabi adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia sebagaimana dijelaskan
dalam haditsnya,
“sesungguhnya aku tidak di utus kecuali untuk menyempurnakan akhlak mulia,” (HR. Al Bukhari)
Kata “ Akhlak” berasal dari bahasa Arab “
Khulqun” yang berarti suatu keadaan jiwa yang dapat melakukan tingkah
laku tanpa membutuhkan banyak akal dan pikiran.[1]
Sedangkan akhlak karimah (mahmudah) adalah segala tingkah laku yang
terpuji (yang baik) yang bisa juga dinamakan “fadilah” (kelebihan).[2]
Al-Ghazali menerangkan bentuk keutamaan
Akhlak Mahmudah yang dimiliki seseorang misalnya jujur, bersikap baik
terhadap tetangga dan tamu, itu dinyatakan sebagi gerak jiwa dan
gambaran batin seseorang yang secara tidak langsung menjadi akhlaknya.
Al Gahzali menerangkan adanya pokok keutamaan yang baik, antara lain
mencari hikmah, bersikap berani, bersuci diri, berlaku adil.[3]
وَءَنْ أبِي مَسْعُودٍ رَ ضِيَ اللهُ
ءَنْهُ قَا لَ : قَا لَ رَسُو اللهِ صَلّى اللهُ ءَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ
دَ لَّ ءَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَا ءِلِهِ .أَ خْرَ جَهُ
مُسْلِمٌ.
Dari Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu
Anhu berkata “ Rasulullah SAW bersabda ,” Barang siapa yang menunjukan
kepada sebuah kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang
mengerjakannya.” (HR.Muslim) Hadits ini shahih, Muslim 1018
Hadits ini membuktikan, bahwa seorang
yang menunjukan orang lain kepada sebuah kebaikan, maka ia akan
mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakannya. Isi hadits ini
sama seperti sabda rasulullah SAW:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فِى الأِ سْلاَ مِ كَا نَ لَهُ أَ جُرُ هَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا.
“Barang siapa yang melakukan sunnah
yang baik di dalam Islam maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala
orang yang melaksanakannya.”
Kata “ menunjukan” yang tercantum dalam
hadits merupakan isyarat bahwa orang tersebut tidak melakukannya. Ia
berusaha mendapatkan kebaikan dengan cara menujukan orang lain kepada
kebaikan tersebut. Kata kebaikan yang tertera di dalam hadits mencakup semua kebaikan dunia dan akhirat.[4]
B. Keutamaan Perilaku Jujur
Kejujuran adalah budi pekerti yang sangat
kuat kaitannya dengan kemaslahatan perorangan atau jamaah. Kejujuran
adalah modal besar membenahi dan membina masyarakat dalam menrapkan
serta menegakan aturan-aturannya. Menghias diri dengan kejujuran adalah
keutamaan. Melepaskan kejujuran dari diri akan mendatangkan kehinaan.
Kejujuran akan membawa kepada keselamatan jiwa dan harta. Kejujuran
menunjukan keindahan sifat dan moral pemiliknya.
ءَنِ اْبْنِ مَسْعُو ٍد رَ ضِيَ ا للهُ
ءَنْهُ قَالَ : قَا لَ رَ سُو لُ ا للهِ صَلَّى ا للهُ ءَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
: ءَلَيْكُمْ بِا لّصِّدْ قِ, فَأِ نَّ الصَدْقَ يَهْدِ ي اِلَى الْبِرِّ,
وَاِنَّ الْبِرَ يَهْدِ ي أِلَى الْجَنَّتِ, وَمَا يَزَالُ الرَّ خُلُ
يَصْدُ قُ وَيَتَحَرَّ ى الصِّدْ قَ حَتَّى يُكْتَبَ ءِنْدَ الله صِدِّ
يْقًا, وَاِيَّا كُمْ وَالْكَذِ بَ فَأِ نَّ الْكَذِ بَ يَهْدِ ي أِ لَى
الْفُجُوْرَ يَهْدِ ي أِلَى النَّارِ, وَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِ بُ
وَيَتَحَرَّى الْكَذِ بَ حَتَّى يُكْتَبَ ءِنْدَ اللهِ كَذَّ ابًا.
مُتَّفَقٌ ءَلَيْهِ.
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu
Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam bersabda, “
Hendaknya kalian berkata jujur, karena kejujuran akan membawa kepada
kebaikan dan kebaikan membawa akan kepada surga. Sesungguhnya seseorang
senantiasa berkata jujur dan selalu berusaha jujur sehingga ditulis
disisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah dusta, karena dusta
dapat menyeret kepada kejahatan dan kejahatan dapat menyeret kepada
neraka. Sesungguhnya seseorang senantiasa berdusta dan selalu berdusta
hingga ditulis disisi Allah sebagai pendusta.” (Mattafaq Alaih) Hadits ini shahih, Al-Bukhari 6090 dan Muslim 2607
Ash-shidq (jujur) adalah sesuatu yang sesuai dengan kenyataan. Al-kidzb (dusta) adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ibnu Baththal berkata, “ sabda beliau, “ sesungguhnya kebaikan itu…” dikuatkan dengan firman Allah Ta’ala,
أِ نَّ اُلْأَبُرَا رَ لَفِى نَعِيمٍ
“ Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh kenikmatan.” (Q.S Al-Infithar:13)
Ia juga berkata , “ Sabda beliau,”
Apabila seseorang bersikap jujur…”. Maksudnya, berusaha agar senantiasa
bersikap jujur hingga ia berhak menyandang gelar ash-shiddiiq (seseorang yang senantiasa jujur).
Hadits diatas mengisyaratkan bagi siapa
yang berusaha untuk tetap berkata jujur maka jujur akan mendarah daging
pada dirinya. Dengan latihan dan usaha, sifat baik dan sifat buruk itu
dapat dicapai. Hadits ini menunjukan betapa agungnya sifat jujur, karena
kejujuran akan membimbing pelakunya menuju surga. Hadits ini juga
menunjukan betapa buruknya sifat dusta hingga menyeret pelakunya menuju
neraka. Demikian juga halnya semasa di dunia, ucapan orang yang jujur
akan diterima dan disukai di tengah masyarakat serta diterima
persaksiannya oleh para hakim.[5]
C. Bersikap Terhadap Tetangga dan Bertamu
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ
النَّبِىِّ صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَا لَ : وَالَّذِى
نَفْسِى بِيَدِ هِ لاَ يُؤْ مِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبُّ لِخَا رِ هِ مَا
يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (متفق عليه)
Anas RA menceritakan, bahwa Nabi SAW
bersabda, “ Demi allah yang nyawaku ditangan-Nya, bahwa tidak beriman
seorang hamba-Nya pun, sehingga ia mengasihi tetangganya sebagaimana ia
mengasihi tetangganya.”Hr. Ahmad dan menurut Ibnu Hibban hadits ini Shahih
Yang dimaksud “Tetangga” di sini ialah
manusia, tanpa membedakan agama dan bangsanya. Dalam bidang yang tidak
bertalian dengan ibadah dan akidah, boleh dan malahan di anjurkan agar
umat Islam bergaul dengan baik dengan siapa pun. Boleh bertoleransi
dalam bidang sosial kehidupan dunia dan Haram mentoleransikan ibadah dan
aqidah. Oleh sebab itu Haram hukumnya mengajak non muslim mengikuti
upacara ibadah dan akidah umat Islam dan pula sebaliknya atas tiap umat
Islam, tanpa apapun.[6]
Manusia ditakdirkan oleh Allah SWT
sebagai makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendiri, tanpa kerjasama
dengan orang lain atau bermasyarakat. Karena itu, dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita selalu hidup bertetangga,
membutuhkan satu sama lain.
Tetangga merupakan mitra sosial terdekat kita. Dengan tetangga, kita belajar hidup bersama (Learning to live together) secara simbiosis-mutualistik, saling berbagi dan saling menguntungkan.[7]
Syeikh Muhammad bin Abi Jamrah berkata, “
Menjaga hak tetangga merupakan tanda kesempurnaan iman, dan menyakiti
mereka merupakan salah satu dari perbuatan dosa besar. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
مَنْ كَا نَ يُؤْ مِنُ بِا للهِ وَالْيَوْ مِ اْلآ خِرِ فَلاَ يُؤْ ذِي جَا رَهُ.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka janganlah ia menyakiti tetangganya” hadits shahih Al-Bukhari dan Muslim
Bertetangga sama saja dengan menjalin silaturahmi. Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Adabul Mufrad dari hadits Ibnu Abi Aufa bahwasannya Rasulullah SAW pernah bersabda:
أِ نَّ الرَّ حْمَةَ لاَ تَنْزِ لُ عَلَى قَوْ مٍ فِيْهِمْ قَا طِعُ رَ حِمِ.
“Sesungguhnya rahmat tidak akan turun
kepada kaum yang ada di tengah-tengah mereka terdapat seorang yang
memutuskan tali silaturahmi.” Abdul Mufraad (1/35, (36)
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari hadits Ibnu Mas’ud bahwasannya rasulullah SAW bersabda :
أِنَّ أَبْوَا بَ السَّمَا ءِ مُغَلَّقَتٌ دُ وْنَ قَا طِعِ الرَّ حِمِ.
“Sesungguhnya pintu-pintu langit ditutup bagi orang yang memutuskan tali silaturahmi.”Majma’ Az-Zawaaid (VIII/151)
Imam Al-Qurthubi mengatakan, “ Tali
silaturahmi yang perlu untuk disambung ada yang sifatnya umum dan ada
yang sifatnya khusus.” Yang umum adalah tali silaturahmi antara sesama
muslim. Wajib menyambung dengan cara saling menyayangi,
nasehat-nasehati, bersikap adil, insaf, memenuhi hak yang wajib dan yang
mustahab. Adapun silaturahmi dalam arti khusus memberikan nafkah kepada
karib kerabat, peduli dengan mereka dan saling melupakan kekeliruan
mereka.
Menyambung tali silaturahmi merupakan
salah satu bentuk perbuatan yang baik, sebagaimana yang di tafsirkan
oleh para ulama dan memutuskannya bearti salah satu bentuk perbuatan
yang buruk. [8]
Dengan hidup bertetangga tak jauh dari
bersilaturahmi serta tak bisa lepas dari bertamu. Seorang muslim yang
beriman kepada Allah dan hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan
tamu sehingga ia akan menempatkan sesuai dengan kedudukannya. Hal ini
sebagaimana sabda Rasulullah SAW
مَنْ كَا نَ يُؤْ مِنُ بِا للهِ وَالْيَوْ مِ اْلأ خِرِ فَلْيُكْرِ مْ ضَيْفَهُ
“ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR.Bukhari)
Keramahan merupakan sebuah kebajikan yang
telah ada sejak zaman kegelapan bangsa Arab dan mereka memang terkenal
dengan keramahannya. Sikap yang muncul sebelum hadirnya Islam ini
dikagumi oleh Rasulullah SAW, dan beliau merumuskan sejumlah peraturan
yang harus dijalankan oleh tamu dan tuan rumah.
Orang yang baik selalu mengekspresikan
kebahagiaan dan kesenangan atas kehadiran seorang tamu. Ia menyalaminya
dengan hangat dan manahan diri supaya tidak menunjukan sikap dingin. Ia
harus bersikap ramah, luhur, dan murah hati kepada tamunya. Ia
sebaliknya bersedia memeluknya dan menanyakan bagaimana keadaan
keluarganya.
III. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Akhlak Karimah (mahmudah) adalah segala
tingkah laku yang terpuji (yang baik) yang biasa juga dinamakan
“fadilah” (kelebihan). Akhlak mahmudah yang dimiliki seseorang misalnya
jujur, bersikap baik terhadap tetangga dan tamu itu di nyatakan sebagai
gerak jiwa dan gambaran batin seseorang secara tidak langsung menjadi
akhlaknya.
Jujur adalah tanda keimanan dan kesucian
jiwa. Kejujuran akan membawa kepada kemaslahatan jiwa dan harta. Dengan
jujur menunjukan sifat dan moral pemiliknya.
Kita hidup bermasyarakat dan bertetangga
maka kita harus bisa menjaga tali silaturahmi, bertamu contohnya dengan
bertamu kita bisa dikatakan telah menjalin silaturahmi. Seperti sabda
Rasulullah yang telah dijelaskan di atas ketika kita beriman kepada
Allah dan hari kiamat janganlah menyakiti tetangga. Dengan begitu kita
sebagai umat muslim harus bisa terutama bersifat jujur dan baik hati,
serta dalam bermasyarakat kita harus menjaga perasaan satu sama lain.
Dengan begitu insyaallah hidup kita akan lebih bermanfaat baik di dunia
dan akhirat.
B. Penutup
Demikian makalah ini kami buat. Kami
menyadari sebagai manusia biasa yang tak jauh dari salah baik dalam
tulisan maupun materi. Untuk itu kami mohon maaf. Atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Yatimin. 2007. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Amzah
Al-Albani. Shahih Attarghib Wa Attarbib. Jakarta: Pustaka Sahifa.
Ash-Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al-Amir.2013. Subulus Salam Syarah Bulughul Maram (jilid III)-cet.8. Jakarta: Darus Sunnah.
Msyhur, Kahar. 1992. Bulughul Maram (jilid II). Jakarta: Rineka Cipta.
Ya’qub, Hamzah. 1983. Etika Islam. Bandung: CV Diponegoro.
[1] Kahar Mansyur, Bulughul maram (jilid II), (1992, Jakarta: Rineka Cipta), hlm.358
[3] Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), cet.I, hlm.40
[4]Muhammad
bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani,(penyunting: Team Darus Sunnah),
Subulus salam syarah bulughul maram (jilid III)-cet 8(2013, Jakarta:
Darus Sunnah),hlm. 826
[5]Muhammad
bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani,(penyunting: Team Darus Sunnah),
Subulus salam syarah bulughul maram (jilid III)-cet 8(2013, Jakarta:
Darus Sunnah), hlm.952-953
[6] Kahar Mansyur, Bulughul maram (jilid II), (1992, Jakarta: Rineka Cipta), hlm.374
[7] Al-Albani, Shahih Attarghib wa attarhib (Jakarta: Pustaka sahifa),hlm.52
[8]Muhammad
bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani,(penyunting: Team Darus Sunnah),
Subulus salam syarah bulughul maram (jilid III)-cet 8(2013, Jakarta:
Darus Sunnah),hlm.796-799
Artikel asli ada disini
artikelnya bermanfaat
BalasHapusartikel yang jlek :D
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapussubhanallah, makasih ustadz atas ilmunya
BalasHapusminggu depan siap ceramah y saya tungu...
BalasHapuskau dulu saja lah haha saya belum siap
BalasHapus